Pada suatu ketika, dalam sebuah halaqah kecil, para jamaah ditanya satu-per-satu dengan pertanyaan “Bapak sudah tahu apa itu bid’ah?”. Dan subhanallah, bisa dikatakan 90% dari jamaah baru mendengar istilah ini, sementara mereka yang ditanya bukanlah para muallaf (orang yang baru masuk Islam), tetapi mereka adalah orang yang sudah Islam sejak lahir dan umurnya berkisar antara 20 – 50 tahun. Ini menunjukkan kenyataan betapa masih asingnya istilah ini bagi kebanyakan kaum muslimin.
Namun kelihatannya istilah bid’ah ini tidaklah terlalu asing bagi para pemuda yang cukup aktif dan ‘melek’ terhadap agamanya, meskipun kebanyakan belum sampai pada pengertian yang diharapkan. Sebagian pemuda yang baru mengenal sedikit tentang istilah ini dan menerimanya dengan sepenuh hati, cenderung terlalu hati-hati dan terburu-buru sehingga kurang luwes dalam menerapkannya. Sebaliknya, sebagian yang lain yang sedang asyik dengan amalannya dan ternyata amalan itu dikatakan bid’ah, alih-alih mempelajarinya dengan hati yang ikhlas serta minta petunjuk kepada Allah Ta’ala, mereka cenderung defensif (mempertahankan diri), bahkan tak jarang mulai melempar tuduhan dan fitnah demi mempertahankan bid’ahnya. Selain itu, masih ada lagi sebagian kaum muslimin yang menganggap membicarakan bid’ah ini tidak menarik, karena ujung-ujungnya akan terjadi perdebatan tiada akhir.
Kalau kita lihat kembali ke belakang, akan kita dapati bahwa istilah bid’ah itu pertama kali diperkenalkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sendiri. Bahkan beliau shallallahu’alahi wasallam sering mengulang-ulang dalam pembukaan khutbahnya, sebagaimana riwayat yang shahih dari Imam Muslim rahimahullah dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Juga sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada kesempatan lain:
“Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Dan masih banyak lagi hadits lainnya serta atsar dari Sahabat radhiyallahu’anhum ‘ajma’in yang menunjukkan betapa pentingnya memahami fenomena bid’ah ini. Tentunya dengan pemahaman yang utuh dan tuntas, berdasarkan Al-Qur’an, hadits-hadits yang shahih, pemahaman para Sabahat dan 2 generasi terbaik setelahnya, serta kaidah-kaidah bahasa Arab dan kaidah-kaidah ushul yang telah disepakati oleh ulama. Hal itu karena memahami ilmu tentang bid’ah berarti memahami hal-hal yang dapat memperbaiki amalan kita serta dapat menyelamatkan kita di akhirat, insya Allah.
Betapa indahnya perkataan Ibnu Qudamah, “Hikmah dan kemampuan tidak akan tampak sempurna kecuali dengan menciptakan lawannya agar masing-masing diketahui dengan pasangannya. Cahaya diketahui dengan adanya gelap, ilmu diketahui dengan adanya kebodohan, kebaikan diketahui dengan adanya keburukan, kemanfaatan diketahui dengan adanya kemudharatan, dan manis diketahui dengan adanya pahit” [Ta’wil Mukhtalaf Al-Hadits : 14]. Dan yang termasuk kepada yang seperti itu adalah Sunnah, dimana Sunnah tidak dikenal kecuali dengan Bid’ah, sebagaimana Tauhid tidak dapat dikenal dengan sempurna kecuali dengan mengetahui yang Syirik.
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi berkata, “Perbedaan semua manusia kembali kepada tiga hal, dan masing-masing memiliki lawannya. Yaitu : Tauhid lawannya syirik, sunnah lawannya bid’ah, dan taat lawannya maksiat” [Al-I’tisham : I/91]
Allah Ta’ala memerintahkan untuk menyembah hanya kepadaNya dan melarang dari berbuat syirik, maka kesempurnaan tauhid kita hanya terjadi jika kita mengenal apa yang dapat mengotorinya, yaitu kesyirikan. Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka kesempurnaan ittiba’ (mengikuti Sunnah) hanya akan terjadi jika kita mengenal apa yang dapat merusaknya, yaitu segala bentuk bid’ah. Demikian juga dalam ketaatan, dimana hanya akan sempurna jika bersih dari segala bentuk kemaksiatan.
Untuk itu, pertama-tama tanamkanlah keikhlasan dalam diri kita, lapangkan dada, singkirkan fanatisme golongan karena hal itu dapat menghalangi kita dari ilmu. Selanjutnya, dengan penuh kesabaran, pelajarilah ilmu tentang bid’ah ini secara tuntas, jangan sepotong-sepotong. Jangan terpancing dengan berbagai fitnah dan tuduhan-tuduhan serta debat kusir yang ada. Salah satu cara untuk tabayun (cross check) fitnah terhadap ulama adalah dengan melihat kepada kitab aslinya, bukan dari nukilan-nukilan yang kemudian diinterpretasikan secara sepihak demi untuk mempertahankan diri. Maka dalam hal ini diperlukan kejujuran.
Diantara kitab yang mengupas ilmu tentang bid’ah dengan baik adalah Al-I’tisham karya Imam Asy Syathibi rahimahullah dan Ilmu Ushul Bida’ karya Syaikh Ali Hasan Al-Halabiy hafidhahullah. Insya Allah, dengan memahami ilmu bid’ah secara utuh akan terhindar dari sikap berlebihan dalam urusan bid’ah dan juga terhindar dari sikap meremehkannya, sehingga diharapkan akan lahir sikap pertengahan, yaitu semakin bersemangat untuk menghidupkan sunnah serta dapat bersikap dengan tepat terhadap fenomena bid’ah.
Setelah mengetahui hal ini, masihkan kita menganggap membicarakan bid’ah adalah sesuatu yang tidak menarik?
Kita memohon kepada Allah agar diberikan ilmu yang bermanfaat, dan kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.
——————————————————-
Dipublikasikan kembali dari Pustaka al-Atsar
oleh: Abu Faruq Dedhy Prihtiantoro