Artikel Terbaru

Fikih Hadits 8: Mengetahui Illat

Print Friendly, PDF & Email

Illat adalah sifat (alasan) yang tampak dan tetap yang dibangun diatasnya sebuah hukum, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan, illat diharamkannya jual beli kucing dalam karung adalah gharar (tidak jelas akibatnya) dan majhul (tidak diketahui sifat barangnya), dan lain sebagainya.

Dan hendaknya kita berhati-hati dalam mengklaim illat sebuah perintah atau larangan, karena kesalahan dalam menentukan illat menyebabkan salah dalam mengkiyaskan, sebuah contoh misalnya perintah memanjangkan janggut dalam hadits:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

 “Potonglah kumis, panjangkan janggut, selisihilah kaum majusi”. (HR Muslim).

Sebagian orang yang mencukur janggut berkata: “Perintah memanjangkan janggut itu berhubungan dengan menyelisihi kaum majusi, bila kaum majusi memanjangkan janggutnya maka kita boleh mencukur janggut karena illatnya sudah hilang karena kaidah mengatakan: “Hukum itu mengikuti illatnya”.

Memang bila kita perhatikan sekilas pendapat ini benar, namun setelah kita teliti lebih lanjut, ternyata alasan seperti itu sangat lemah dari tiga sisi:

Pertama : damal hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan kaum majusi dari kaum kafir untuk diselisihi, padahal orang-orang kafir tidak hanya majusi saja di zaman itu, tetapi di sana ada kaum musyrikin arab, Yahudi dan Nashrani, lalu mengapa beliau mengkhususkan kaum majusi padahal menyelisihi orang-orang kafir secara umum adalah diperintahkan?? Jawabnya karena kaum musyrikin arab, Yahudi dan Nashrani pada waktu itu memanjangkan janggutnya. Ini menunjukkan ada hal lain yang berhubungan dengan perintah memanjangkan janggut dan menyelisihi kaum majusi, yaitu:

Kedua : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ

 “Sepuluh perkara yang termasuk fitrah : Memotong kumis, memanjangkan janggut, bersiwak, istinsyaq, memotong kuku, menyela nyelai jari jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan istinja. Zakaria berkata, Mush’ab berkata: “Aku lupa yang kesepuluh, tampaknya ia adalah berkumur-kumur”. (HR Muslim).

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa memanjangkan janggut adalah termasuk fitrah, ini menunjukkan bahwa kaum majusi telah menyalahi fitrah manusia. Inilah sebab mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengkhususkan majusi dari orang-orang kafir lainnya. Jika kaum majusi telah kembali kepada fitrah dengan memanjangkan janggut mereka, bolehkah kaum muslimin menyalahi fitrah ?! jawabnya tidak boleh.

Ketiga : Memanjangkan janggut adalah ajaran semua Nabi dan Rasul, tidak ada seorang nabipun kecuali memelihara janggut, dan kaidah yang harus kita fahami adalah bahwa perkara yang bersepakat padanya semua syari’at dan agama, tidak berlaku padanya larangan tasyabuh, artinya tidak terlarang kita melakukan seperti apa yang mereka lakukan.

Syarat-syarat illat.

Ketahuilah, bahwa sebuah illat harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama, diantara syaratnya adalah:

Pertama: Sifat illat itu harus tampak jelas dan tidak boleh tersembunyi.

Contohnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

 “Setiap yang memabukkan adalah arak, dan setiap yang memabukkan adalah haram”.

Memabukkan adalah sifat yang jelas dari arak, namun tentunya ukurannya adalah bagi orang yang tidak terbiasa mabuk bukan orang yang terbiasa mabuk, karena orang yang terbiasa mabuk bila minum satu gelas arak mungkin ia tidak mabuk.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang illatnya tersembunyi dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah tidak berlaku qiyas padanya, seperti jumlah raka’at shalat, tata caranya, dzikir dan do’anya dan lain-lain.

Kedua: Sifat itu bersifat tetap dan tidak relatif.

Contohnya orang yang membunuh pewaris tidak boleh mendapatkan warisan darinya, mengapa? karena ia tergesa-gesa meraih sesuatu sebelum waktunya, dan kaidah mengatakan: “Siapa yang tergesa-gesa meraih sesuatu sebelum waktu yang ditetapkan oleh syari’at maka ia diberi sanksi tidak mendapatkan apa yang ia inginkan tersebut”. Sekarang, bila ada orang berwasiat: “Bila saya mati maka harta saya sepertiga untuk fulan bin fulan”. Kemudian si fulan membunuh si pemberi wasiat karena ingin segera mendapatkan harta wasiat tersebut. Maka dia tidak berhak mendapatkan harta itu karena illatnya sama dengan yang tadi.

Ketiga: sifat itu harus sesuai dengan hukumnya yang merupakan maksud dari pensyari’atan berupa mendatangkan mashalahat dan menolak mudlarat.

Contohnya bila kita menganggap bahwa illat haramnya arak adalah karena arak itu cairan atau karena warnanya merah, maka ini tidak benar karena alasan semacam ini tidak menolak mudlarat tidak pula mendatangkan mashlahat.

Keempat: sifat itu harus menular, artinya ada pada cabang yang akan dikiaskan.

Contohnya memabukkan adalah sifat yang tidak hanya ada pada arak saja, maka setiap yang memabukkan seperti ganja, heroin dan lain sebagainya sama illatnya dengan arak yaitu merusak akal, berarti hukunya adalah haram. Contoh lain adalah larangan memakan bawang bagi yang mau shalat ke masjid, illatnya adalah baunya dapat menganggu orang lain yang shalat, dan illat ini menular kepada setiap makanan yang baunya busuk dan menganggu orang shalat seperti jengkol, petai dan lain sebagainya.

Kelima: Sifat tersebut tidak dilalaikan oleh syari’at.

Contohnya adalah anak laki-laki dan anak wanita sifatnya sama yaitu sama-sama anak, namun dalam warisan sifat ini dilalaikan oleh syari’at dimana anak laki-laki mendapatkan dua kali lipat anak wanita. Contoh lain adalah bila seorang ayah membunuh anaknya dengan sengaja, maka secara kiyas si ayah berhak dibunuh sebagai qishash karena illatnya adalah pembunuhan secara sengaja. Namun illat ini dilalaikan oleh syari’at sebagaimana dalam hadits:

لَا يُقَادُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ

 “Ayah tidak diqishash karena (membunuh) anaknya”. (HR Tirmidzi dengan sanad jayyid).

Dengan melihat syarat-syarat ini kita dapat meneliti suatu illat dengan tepat bila illat tersebut tidak disebutkan di dalam nash secara tegas. Dan faidah memahami illat hadits sangatlah besar diantaranya adalah memudahkan kita untuk mengetahui hukum suatu permasalah yang tidak ada dalilnya dengan cara dikiyaskan kepada pokok yang ditunjukkan oleh dalil yang sama illatnya.

Contohnya adalah jual beli uang (money canger) apa hukumnya? Disebutkan dalam hadits bahwa menjual dinar dengan dinar dan dirham dengan dirham harus sama takaran dan tidak boleh tempo, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

 “Maka apabila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kamu selama pembayarannya langsung (tidak tempo)”. (HR Muslim).

Artinya apabila kita membeli emas dengan perak maka boleh berbeda takaran seperti 1 gram emas kita beli dengan 5 gram perak misalnya, namun harus dibayar pada waktu itu juga tidak boleh dibayar tempo atau cicil. Bila kita kiyaskan, dapat kita lihat kesamaan illat emas dan perak dengan uang yaitu mata uang dan harga, maka menjual rupiah dengan dolar misalnya sama dengan menjual perak dengan emas dari sisi perbedaan jenis namun masih sama-sama mata uang dan harga, maka pada waktu itu boleh menjual 100 dolar dengan satu juta rupiah sesuai dengan nilai kurs pada hari berjual beli, namun tidak boleh membayarnya dengan tempo atau dicicil karena itu adalah riba.

Menganalisa illat.

Setelah kita mengetahui syarat-syarat illat, kita dapat menganalisa keakuratan sebuah illat dalam sebuah perkara sesuai dengan syarat-syarat yang telah kita kemukakan tadi, dalam ushul fiqih perbuatan menganalisa illat ini disebut dengan tanqihul manath. Sebuah contoh misalnya zakat pertanian bila kita lihat ada beberapa kemungkinan illat yang ada padanya yaitu:

a. Profesi.

b. Tumbuhan yang menghasilkan.

c. Buah/biji yang yang timbang atau ditakar.

d. Buah-buahan/ biji yang menjadi makanan pokok dan disimpan untuk jangka waktu yang lama.

Pada kemungkinan illat yang pertama yaitu profesi bila kita cermati illat ini kurang cocok karena banyak profesi di zaman Rasulullah seperti pandai besi, penjahit dan lain-lain tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil zakat dari profesi mereka, kalaulah illatnya profesi tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat kepada semua profesi yang ada pada zaman itu.

Pada kemungkinan illat kedua juga kurang cocok, karena tidak setiap tumbuhan yang menghasilkan di wajibkan padanya zakat, seperti sayur-mayur misalnya tidak diwajibkan padanya zakat sebagaimana disebutkan dalam hadits[1], dan para ulama juga bersepakat bahwa tebu, bambu, alang-alang tidak ada zakatnya sama sekali.

Pada kemungkinan illat ketiga juga kurang cocok karena alasan ditimbang atau ditakar berbeda dari satu tempat ke tempat lain, terkadang di suatu tempat dijual dengan ditimbang namun ditempat lain tidak, juga tidak semua buah/biji sama; ada buah yang sebentar saja sudah busuk tidak dapat bertahan lama seperti buah rambutan dan lain-lain, dan ada buah yang dapat bertahan lama. Untuk buah yang tidak dapat bertahan lama akan sangat sulit untuk dikonsumsi oleh fakir miskin karena buah tersebut akan segera busuk dalam waktu singkat, lebih-lebih kebutuhan manusia kepada buah jenis tersebut bukanlah kebutuhan yang primer.

Untuk kemungkinan illat ketiga tampak kuat dan sesuai dengan maksud tujuan pensyari’atan, karena manusia tidak lepas dari kebutuhan pokok dan ini tidak hanya sehari atau dua hari namun untuk jangka waktu yang lama, juga hasil tanaman yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sifatnya adalah demikian yaitu gandum, kurma, dan kismis dimana ia adalah makanan pokok bangsa arab waktu itu dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama.

Dari sini kita mengetahui kesalahan pendapat yang mewajibkan zakat profesi dikiyaskan kepada zakat pertanian, karena profesi di zaman ini menghasilkan uang, dan uang tidak bisa dikiyaskan kepada buah atau biji, namun ia satu illat dengan emas dan perak, maka zakatnya sama dengan emas dan perak yang disyaratkan padanya nishab dan haul.

Dipublikasikan kembali oleh: www.menitisunnah.com
Penulis: Abu Yahya Badrussalam, Lc.
Sumber: www.abangdani.wordpress.com
Tanggal: 18 Sya’ban 1431H


[1] Lihat shahih jami’ shaghier no 5411

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

0:00
0:00