Artikel Terbaru

Fikih Hadits 7: Menyikapi Lahiriyah (dhahir) Hadits

Print Friendly, PDF & Email

Ketahuilah pembaca yang budiman, seluruh ulama dari zaman kezaman bersepakat untuk menerima lahiriah sebuah hadits dan tidak memalingkannya kepada makna lain kecuali dengan dalil, bila engkau mendengar lafadz singa misalnya, yang kita fahami dari lafadz tersebut adalah binatang buas yang sudah kita kenal, tidak boleh kita palingkan maknanya kepada makna lain kecuali ada bukti yang menunjukkan kepadanya.

Mengamalkan lahiriyah (dzahir) dalil bukanlah madzhab Dzahiri, imam Asy Syaukani rahimahullah berkata: “Mengamalkan dzahir adalah pemikiran yang pertama kali ada dan yang terakhir bagi orang yang diberi sifat keadilan dan fitrahnya belum berubah, ia bukan hanya madzhab Daud Ad Dzahiri saja, namun ia adalah madzhab ulama-ulama besar yang mengikatkan diri dengan nash-nash syari’at dari semenjak zaman shahabat sampai hari ini, namun Daud masyhur dengan kejumudannya dalam menyikapi banyak masalah dimana ia berpegang kepada lahiriah yang tidak layak dipegang dan menolak qiyas yang seharusnya tidak boleh ditolak”. (Al Badru Ath Thali’ 2/288)[1].

Bila saya berkata kepadamu: “Saya membuat kue ini dengan tangan saya sendiri”. Apa yang engkau fahami dari kata tangan ?? bolehkah kita katakan: “Oh maksud tangan adalah nikmat atau kekuasaan atau lain-lain”. Padahal tidak ada qarinah (penguat) yang menunjukkan kepada makna tersebut. Atau bila ada seorang ayah menyuruh anaknya untuk membeli kambing, kemudian si anak datang membawa sepuluh ekor ayam dengan alasan bahwa maksud kambing adalah binatang sembelihan, tentu si ayah berhak marah karena si anak tadi tidak melaksanakan perintahnya.

Demikian pula dalil-dalil Al Qur’an dan sunnah wajib kita fahami secara lahiriyah sampai ada dalil yang memalingkannya kepada makna lain. Sebuah Contoh adalah hadits:

تَحَاجَّتْ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَقَالَتْ النَّارُ أُوثِرْتُ بِالْمُتَكَبِّرِينَ وَالْمُتَجَبِّرِينَ وَقَالَتْ الْجَنَّةُ مَا لِي لَا يَدْخُلُنِي إِلَّا ضُعَفَاءُ النَّاسِ وَسَقَطُهُمْ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي وَقَالَ لِلنَّارِ إِنَّمَا أَنْتِ عَذَابِي أُعَذِّبُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِلْؤُهَا فَأَمَّا النَّارُ فَلَا تَمْتَلِئُ حَتَّى يَضَعَ رِجْلَهُ عَلَيْهَا فَتَقُولُ قَطْ قَطْ

 “Surga dan Neraka berdialog, Neraka berkata: “Aku diutamakan dengan orang-orang yang sombong dan congkak”. Surga berkata: “Yang memasukiku adalah orang-orang yang lemah dan hina”. Allah Tabaraka wa ta’ala berfirman kepada surga: “Engkau adalah rahmat-Ku, denganmu aku merahmati siapa yang Aku kehendaki”. Dan berfriman kepada Neraka: “Engkau adalah adzabku, denganmu Aku adzab siapa yang Aku kehendaki dari hamba-Ku, dan setiap kamu mendapat penduduk yang akan memenuhinya”. Adapun Neraka tidak penuh sampai Allah meletakkan kaki-Nya di dalamnya, maka Neraka berkata: “Cukup, cukup!” (HR Bukhari dan Muslim).

Lahiriyah hadits ini menunjukkan bahwa surga dan Neraka berdialog dan ini wajib kita imani, tidak boleh kita palingkan kepada makna lain kecuali dengan dalil. Sebagaimana lahiriyah hadits ini juga menunjukkan bahwa Allah mempunyai kaki yang sesuai dengan keagungannya, dan tidak boleh kita palingkan maknanya kepada makna lain seperti sekelompok manusia atau lainnya karena tidak ada dalilnya, dan Ahlussunah menetapkan semua sifat-sifat yang ditunjukkan oleh dalil yang shahih secara lahiriyah tanpa menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.

Sesungguhnya memahami Al Qu’an dan hadits tidak secara lahiriyah (ta’wil) tanpa ada dalil yang menunjukkan kepadanya adalah merusak makna-makna ayat Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan sama saja menuduh bahwa Al Qur’an dan hadits tidak fasih dan pembual. Dan perbuatan ini membuka peluang besar untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits sesuai dengan hawa nafsu dan selera manusia dengan berkata: “Oh maksud hadits itu bergini.. oh maksud ayat ini begini..”. tanpa ada dalil yang shahih yang dapat dijadikan rujukan yang akurat. Allahul musta’an.

Dipublikasikan kembali oleh: www.menitisunnah.com
Penulis: Abu Yahya Badrussalam, Lc.
Sumber: www.abangdani.wordpress.com
Tanggal: 18 Sya’ban 1431H


[1] Attahqiqat wattanqihat hal 265

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

0:00
0:00