Artikel Terbaru

Fikih Hadits-4: Menguasai Bahasa Arab

Print Friendly, PDF & Email

Bahasa arab sangat diperlukan bagi orang yang ingin memahami hadits dengan benar, dengan menguasai bahasa arab seorang penuntut ilmu dapat memahami mana kata kerja perintah dan mana kata kerja larangan, juga dapat membedakan antara nakirah dan ma’rifah, mana dlamir mukhatab (Kata ganti kedua) dan mana dlamir mutakallim (kata ganti pertama) dan lain sebagainya.

Sebuah contoh misalnya hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

 “Apabila kalian mendengar muadzin melantunkan adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya orang yang bershalawat kepadaku sekali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali”. (HR Muslim).

Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muadzin kemudian bershalawat adalah untuk pendengar bukan untuk muadzin, karena dalam hadits itu digunakan dlamir mukhatab (kata ganti kedua) yaitu “Tum” artinya kalian, maka bila muadzin bershalawat setelah adzan tentunya bertentangan dengan hadits tersebut, sebagaimana yang kita saksikan di zaman kita ini disebabkan kurangnya pemahaman mereka terhadap bahasa arab.

Diantara contoh kesalahan pemahaman akibat kurangnya menguasai bahasa arab adalah pemahaman sebagian orang dianjurkannya berdiri untuk menghormati kiyai yang datang, berdalil dengan hadits Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ بَنُو قُرَيْظَةَ عَلَى حُكْمِ سَعْدٍ هُوَ ابْنُ مُعَاذٍ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ قَرِيبًا مِنْهُ فَجَاءَ عَلَى حِمَارٍ فَلَمَّا دَنَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ

 “Ketika Banu Quraidzah menyerahkan hukum kepada Sa’ad bin Mu’adz, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya. Dan ia datang dengan menunggang keledai. Ketika telah dekat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berdirilah kepada sayyid kalian”… dst. (HR Bukhari dan Muslim).

Mereka memahami kata “Qumu ila sayyidikum” untuk penghormatan, padahal dalam bahasa arab dibedakan antara “qumu ila” dengan “Qumu li” dimana yang mempunyai makna penghormatan adalah “qumu li” sedangkan hadits itu dengan lafadz “Qumu ilaihi” maksudnya berdirilah menuju sa’ad penghulu kalian untuk menurunkannya dari keledai karena ia sedang terluka berat pada waktu itu. Dan semua lafadz-lafadz hadits ini adalah dengan lafadz “Qumu ila” tidak ada satupun riwayat yang menyebutkan dengan lafadz “qumu li”.

Kalaulah lafadz “qumu ila” maksudnya adalah berdiri untuk menghormati tentu pemahaman ini bertentangan dengan hadits :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

 “Barang siapa yang suka orang-orang berdiri menghormatinya, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api neraka”. (HR At Tirmidzi).[1]

Adapun hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya no 5145:

ثُمَّ أَقْبَلَ أَخُوهُ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَامَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ

 “…Kemudian datanglah saudara sepersusuan beliau, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menghormatinya, dan mendudukkannya dihadapan beliau[2].

Hadits ini diriwayatkan dari Umar bin As Saaib bahwa sampai kepadanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam…al hadits, hadits ini lemah karena sanadnya mu’dlal[3]dimana Umar bin As Saaib hidup di masa tabi’uttabi’in sebagaimana yang dikatakan oleh ibnu Hibban dalam kitab Ats Tsiqaat (7/175).


Catatan kaki:

[1] HR At Tirmidzi no 2755, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih targhib no 2717

[2] Yang terlarang adalah berdiri untuk pengagungan, adapun berdiri untuk menyalami dan mendudukkan, lebih-lebih bila dilakukan oleh tuan rumah dan orang-orang tertentu, maka yang demikian itu termasuk kesempurnaan etika. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri untuk menyambut Fathimah, Fathimah pun demikian untuk menyambut kedatangan beliau (Abu Daud dalam Al-Adab 5217, At-Tirmidzi dalam Al-Manaqib 3871)

[3] Mu’dlal adalah hadits yang gugur dua perawinya secara beruntun pada akhir sanad

Penulis: Abu Yahya Badrussalam, Lc.
Sumber: www.abangdani.wordpress.com
Tanggal: 18 Sya’ban 1431H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

0:00
0:00