Artikel Terbaru

Fikih Hadits-2: Mengumpulkan Lafazh-Lafazh Sebuah Hadits

Print Friendly, PDF & Email

Mengumpulkan lafadz-lafadz hadits sangat bermanfaat dalam menjelaskan sebuah makna yang samar atau global dalam suatu hadits, barangkali suatu hadits dijadikan hujah untuk membenarkan sebuah pemahaman yang salah, namun setelah kita kumpulkan lafadznya tampak dengan jelas kesalahan pemahaman tersebut.

Contohnya adalah hadits :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتىَّ لاَ يُقَالَ فِي الأَرْضِ اللهَ اللهَ

Dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu ia berkata, Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ”Tidak tegak hari kiamat sampai tidak dikatakan lagi Allah.. Allah.. “.[1]

Hadits ini dijadikan dalil bolehnya berdzikir dengan lafadz Allah.. Allah.. saja sebagaimana yang fahami oleh kaum sufi, namun ada lafadz lain yang menjelaskan, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya[2]dengan sanad yang qowiy (kuat) dari Anas bin Malik bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتىَّ لَا يُقَالَ فِي الأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا الله

“Tidak akan tegak hari kiamat sampai tidak dikatakan lagi laa ilaaha illallah “.

Karena berdzikir dengan “Allah Allah” saja tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan tidak pula dilakukan oleh generasi shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya. Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :” Adapun berdzikir dengan hanya menyebut satu isim (nama) saja, seperti berkata :” Allah, Allah “, maka tidak pernah diajarkan oleh syari’at islam, dan ia bukan kalimat sempurna.. “.[3]

Beliau juga berkata :” oleh karena itu, manusia (para ulama) menganggap bid’ah apa yang dilakukan oleh sebagian ahli ibadah yang berdzikir dengan hanya menyebut Allah saja tanpa membentuk kalimat sempurna…

Dan telah mutawatir dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengajarkan umatnya untuk berdzikir kepada Allah dengan kalimat sempurna, seperti subhanallah, alhamdulillah, laailaahaillallah, Allahu akbar, laahaula walaaquwwata illa billah… dan seterusnya.

Sebagian orang menyangka bahwa berdzikir dengan satu isim saja disyari’atkan, bahkan sebagian mereka mengira bahwa dzikir seperti itu lebih afdlal untuk kalangan tertentu dari dzikir laa ilaaha illallah, bahkan sebagiannya lagi mengira bahwa berdzikir dengan dlomir (kata ganti) huwa, huwa lebih afdlal dari Allah, Allah. Syaithan telah menyeret mereka untuk mengucapkan lafadz yang tidak menghasilkan iman tidak pula hidayah, bahkan mereka masuk ke dalam madzhab zindiq dan atheis ahli wihdatul wujud yang menganggap bahwa wujud makhluk adalah penjelmaan dari wujud Allah “.[4]

Contoh lain adalah hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

“Barang siapa yang membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka dia tertolak”. (HR Muslim).

Hadits ini difahami oleh sebagian orang adanya bid’ah hasanah, karena katanya kata “Maa laisa minhu” artinya yang tidak bersumber darinya, ini menunjukkan bila kita membuat sesuatu yang bersumber darinya boleh saja dan tidak terlarang. Akan tetapi bila kita melihat lafadz lain akan tampak kesalahan orang yang memahami demikian yaitu hadits:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

 “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak ada diatasnya urusan (agama) kami, maka dia tertolak”.

Perhatikan kalimat “Laisa ‘alaihi amruna” (Yang tidak ada diatasnya urusan agama kami), ia adalah na’at (sifat) untuk amal, dan amal disini berbentuk nakirah, sedangkan nakirah mempunyai makna umum, artinya semua amal yang tidak di atas dalil agama adalah tertolak, dan lafadz ini membantah adanya pembagian bid’ah menjadi hasanah dan dlolalah. Inilah yang di fahami para ulama.

Berkata imam An Nawawi rahimahullah, ”Hadits ini adalah kaidah yang agung dari kaidah-kaidah islam, ia termasuk jawami’ kalim Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tegas menolak semua bid’ah dan sesuatu yang diada-adakan. Dan dalam riwayat kedua (yaitu riwayat : man ‘amila amalan..) terdapat tambahan, yaitu terkadang sebagian pelaku bid’ah ngeyel melakukan bid’ah yang telah didahului sebelumnya, jika kita berhujjah kepadanya dengan riwayat pertama (yaitu riwayat : man ahdatsa fi amrina hadza..) ia berkata,” Aku tidak membuat sesuatu yang baru”. Maka kita berhujjah dengan riwayat yang kedua yang tegas menolak semua yang muhdats (yang diada-adakan).”[5]

Contoh lainnya adalah hadits:

حديث أبي هُرَيْرَةَ عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: ومَن كَذَب عليّ مُتعمِّدًا فليتبوَّأْ مَقْعَدَهُ من النار. أخرجه البخاري في: 3 كتاب العلم: 38 باب إثم من كذب على النبي صلى الله عليه وسلم

Hadits Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api Neraka”. (HR Bukhari).

Sebagian orang ada yang memahami dengan pemahaman yang aneh, ia berkata bahwa yang dilarang adalah “kadzaba ‘ala” artinya berdusta keburukan, karena kata “‘ala” dalam bahasa arab dipakai untuk keburukan seperti “da’a ‘ala” artinya mendo’akan keburukan. Adapun jika ia berdusta kebaikan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka diperbolehkan.

Pemahaman ini selain bertentangan dengan bahasa arab yang fasih juga sangat tidak sepadan dengan lafadz lain dari hadits itu yaitu :

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

 “Barang siapa yang menyampaikan hadits dariku yang tampak sebagai kedustaan maka ia termasuk ke dalam salah seorang pendusta”. (HR Muslim).

Dalam hadits ini tidak digunakan kata “‘Ala” oleh karena itu tidak ada satupun ulama yang memahami dengan pemahaman aneh tersebut.

Penulis: Abu Yahya Badrussalam, Lc.
Tanggal: 18 Sya’ban 1431H
———————————————————————————————
Catatan Kaki:
[1] Muslim dalam shahihnya 1/131 no.148 juga dikeluarkan oleh imam lainnya
[2] Ahmad, al musnad 3/268 no. 13860. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata :” Sanadnya qowiy “. (Fathul bari 13/85)
[3] Ibnu Taimiyah, dar’utta’arudl al’aqli wannaqli 8/535
[4] Ibnu taimiyah, Ar roddu ‘alal manthiqiyyin hal 35-36
[5] An nawawi, sya-rah shahih Muslim 12/242 cet. III darul ma’rifah tahqiq Syaikh Khalil Makmun Syiha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

0:00
0:00