Artikel Terbaru

Fikih Hadits-1: Mengumpulkan Semua Dalil Dalam Sebuah Permasalahan

Print Friendly, PDF & Email

Kaidah pertama dalam memahami fikih hadits adalah dengan mengumpulkan semua dalil dalam sebuah permasalahan.

Hal ini agar kita tidak jatuh kepada tata cara yahudi yang mengambil sebagian ayat dan membuang ayat lain yang tidak selera dengan hawa nafsunya, imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Ahli ilmu menulis semua dalil yang mendukung maupun yang tidak mendukung, sedangkan ahlul hawa hanya menulis dalil yang mendukung mereka saja”[1]. Dan perkataan ini diriwayatkan juga dari imam Wakii’ bin Al Jarraah[2].

Dan apa yang beliau katakan adalah benar, kita lihat setiap ahlul hawa hanya membawakan dalil yang sesuai dengan ra’yu mereka saja. Seperti Khawarij yang hanya mengambil hadits-hadits ancaman untuk mengkafirkan pelaku dosa besar seperti hadits:

لَا يَزْنِي الْعَبْدُ حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ

 “Tidaklah seorang hamba berzina ketika ia berzina dalam keadaan mukmin, dan tidaklah ia mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan mukmin, dan tidaklah ia minum arak ketika ia meminumnya dalam keadaan mukmin”. (HR Bukhari dan Muslim).

Mereka mengkafirkan orang yang mencuri, berzina, minum arak dan dosa-dosa besar lainnya berdasarkan hadits ini dan yang semisal, dan mereka meninggalkan hadits yang menunjukkan bahwa pelaku dosa besar tidak kafir, seperti hadits Abu Dzarr ia berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبٌ أَبْيَضُ وَهُوَ نَائِمٌ ثُمَّ أَتَيْتُهُ وَقَدْ اسْتَيْقَظَ فَقَالَ مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ

 “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang memakai baju putih dan sedang tidur, kemudian aku mendatanginya lagi ternyata beliau telah bangun, beliau bersabda: “Tidak ada seorang hamba yang mengucapkan Laa ilaaha illallah kemudian mati di atasnya kecuali ia pasti masuk surga”. Aku berkata: “Walaupun ia berzina dan mencuri ?” Beliau menjawab: “Iya, walaupun berzina dan mencuri”. Aku berkata: “Walaupun ia berzina dan mencuri ?” Beliau menjawab: “Iya, walaupun berzina dan mencuri”. Aku berkata: “Walaupun ia berzina dan mencuri ?” Beliau menjawab: “Iya, walaupun berzina dan mencuri kendati Abu Dzarr tidak suka”. (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan kelompok Murji’ah[3]mereka hanya mengambil hadits Abu Dzarr saja dan yang semisal untuk menyatakan bahwa maksiat tidak mengurangi iman seorang hamba, dan bahwa iman itu sebatas ucapan atau keyakinan saja, sehingga menurut mereka orang yang sudah mengucapkan laa ilaaha illallah imannya telah sempurna walaupun ia berbuat dosa-dosa besar. Dan mereka meninggalkan hadits-hadits ancaman.

Adapun Ahlussunnah, mereka menggabungkan kedua dalil di atas, mereka berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar tidak keluar dari islam namun mereka menjadi fasiq akibat dosa besar yang mereka lakukan dan terancam masuk ke dalam api Neraka. Dan inilah yang diyakini oleh para shahabat, tabi’in dan para ulama setelahnya.

Contoh-contoh di zaman sekarang.

Diantara contoh yang ada di zaman sekarang adalah suatu kelompok yang disibukkan berdakwah dan I’tikaf di masjid-masjid, mereka membawakan hadits-hadits tentang keutamaan berdakwah dan zuhud dalam kehidupan dunia, dan meninggalkan hadits-hadits yang memerintahkan untuk mendidik keluarga dan menafkahi mereka:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ

 “Cukuplah bagi seseorang dosa, ia menyia-nyiakan keluarganya”. (HR Abu Dawud)[4].

Juga meninggalkan hadits-hadits yang mewajibkan melaksanakan amanah, namun mereka malah meninggalkan pekerjaannya di kantor dan lebih mementingkan pergi ke masjid-masjid dan I’tikaf di sana, padahal melaksanaan pekerjaan adalah amanah yang wajib ia jaga, sedangkan pergi ke masjid-masjid selama tiga hari atau tujuh hari atau bahkan empat puluh hari bukan sesuatu yang wajib tidak pula sunnah.

Demikian pula suatu kelompok yang mudah mengkafirkan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, mereka membawakan ayat-ayat yang mengkafirkan pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah seperti ayat :

“Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka adalah orang-orang yang kafir”. (Al Maidah : 44).

Mereka juga membawakan perkataan-perkataan ulama yang bersifat global yang seakan-akan mendukung ra’yu mereka, dan meninggalkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa mereka adalah pelaku dosa besar dan tidak keluar dari islam selama tidak menganggap halal atau melakukannya karena juchud[5] dan ‘ienad[6], seperti kisah Najasyi penguasa habasyah yang masuk islam secara diam-diam, dan selama ia berkuasa tidak berhukum dengan hukum Allah, namun tetap dishalatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan shalat ghaib, juga meninggalkan hadits :

لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الإِِسْلاَمِ عُرْوَةٌ عُرْوَةٌ ، فَكُلَّمَا انْتُقِضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

 “Tali islam akan diputus seutas demi seutas, setiap kali putus seutas tali orang-orang akan berusaha memutuskan tali selanjutnya, yang pertama kali putus adalah hukum dan yang terakhir putus adalah shalat”. (HR Ahmad)[7].

Mereka juga meninggalkan perkataan para ulama yang bersifat terperinci dan penafsiran para shahabat dan ulama setelahnya dalam menafsirkan ayat tersebut sebagaimana akan kita sebutkan dalam pembahasan yag akan datang.[8]

Diantara contohnya juga adalah sebagian orang menasehati penguasa dengan cara terang-terangan dengan cara berdemontrasi atau di mimbar-mimbar beralasan dengan hadits :

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

 “Jihad yang paling utama adalah (menyampaikan) kebenaran di depan penguasa yang zalim”. (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya).[9]

Dan meninggalkan hadits yang menyebutkan tentang tata cara menasehati penguasa:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

 “Barang siapa yang ingin menasehati penguasa, janganlah ia melakukannya secara terang-terangan, tetapi ambillah tangannya dan nasegatilah secara rahasia, jika ia menerima maka itulah (yang diharapkan) dan jika tidak maka ia telah melakukan kewajibannya”. (HR Ahmad).[10]

———————————————————————————————–
Catatan kaki:
[1] Lihat iqtidla shirathimustaqim hal 18 tahqiq Muhamad Ibrahim Az Zaghli

[2] Tanqihuttahqiiq 1/5 tahqiq Sami bin Muhamad Al Khobani

[3] Murji’ah adalah sebuah firqah yang memiliki pemahaman irja`. Maksud irja` ini memiliki dua makna.

Pertama: Mengakhirkan. Yaitu mereka mengakhirkan amal dari iman. Dalam arti, bahwa menurut mereka, amal tidak termasuk bagian dari iman. Pendapat ini merupakan kesesatan karena menyelisihi ‘aqidah Ahlus-Sunnah.

Kedua: Memberikan raja’ (harapan). Mereka mengatakan, dengan adanya iman maka maksiat tidak membahayakan. Sebagaimana juga ketaatan itu tidak bermanfaat dengan adanya kekufuran. Anggapan ini juga merupakan kesesatan, karena mereka memandang remeh terhadap nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Kitab dan as-Sunnah.

[4] Abu Dawud no 1485 dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih sunan Abi Dawud

[5] Yaitu menerima dengan batinnya dan mengingkari dengan lisan dan anggota badannya bahkan memeranginya

[6] Sombong dan enggan disertai menganggap remeh

[7]Ahmad no 22160 tahqiq Syu’aib Al Arnauth, dishahihkan oleh Al Bushiri dalam ithaful khairah dan Syaikh Al Bani dalam shahih Targhib no 572

[8] Dan telah saya bahas pula dalam buku saya “Keindahan islam dan perusaknya” bab III.

[9] Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah shahihah no 491

[10] Ahmad dalam musnadnya no 15333 tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan dishahihkan oleh syaikh Al Bani dalam dzilalul jannah

Penulis: Abu Yahya Badrussalam, Lc.
Tanggal: 18 Sya’ban 1431H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

0:00
0:00